Hambatan[T1]
Mediator Dalam Mediasi Perkara Waris
(Studi kasus
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas I-A)
Pembimbing I: Dr. Ridwan Nurdin,
MCL
Pembimbing II: Mahdalena Nasrun,
S.Ag., MHI
Oleh: Rhoni Ismunandar (150101034)
Kasus sengketa
waris tidak mampu dimediasikan, dan mediator sendiri kesulitan untuk
menyelesaikan permasalahan terkait dengan masalah internal keluarga.Jadi
seringkali mediasi yang ditempuh gagal, seharusnya mediasi dalam pengadilan itu
berhasil karena sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan tentu telah
dimediasikan terlebih dahulu dikampungnya, pada kenyataannya harus kembali
diserahkan ke meja persidangan untuk diputuskan secara adil berdasarkan
fakta-fakta persidangan oleh hakim yang berwewenang. Oleh karena itu, penulis
dapat mengetahui[T3] [T4] bagaimana
konsep dan pelaksanaan mediasi pada perkara waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda
Aceh Kelas IA , dan bagaimana
tantangan proses dan penyelesaian pidana melalui mediasi dalam menyelesaikan
perkara waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh Kelas IA. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan studi kasus (case study). Data-data yang dikumpulkan akan
dianalisis melalui cara analisis-deskriptif.Temuan penelitian
menunjukkan bahwa konsep mediasi yang dijalankan di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh, dengan melihat Perma No. 1 Tahun 2016 sebagai landasan hukum mediasi
sebagai prosedurnya di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas IA.Adapun pelaksanaan setiap perkara perdata wajib
dilakukan mediasi, mediasi dilakukan dengan melibatkan para pihak untuk
berperan langsung dalam proses mediasi dan apabila salah satu pihak tidak mau
di mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum. Untuk Tantangan proses dan
penyelesaiannya lebih kepada para pihak yang membuat perkara tersebut berhasil
atau tidak, dikarenakan mediator hanya memfasilitasi akan tempat dan memberi
solusi yang baik terhadap keduanya. Sedangkan
dalam penyelesaiannya apabila pada saat mediasi itu berhasil maka mediator
membuat sebuah pernyataan bahwa mediasi telah berhasil yang di tanda tangani
oleh para pihak dan juga mediator, kemudian perkara tersebut diberikan kepada
hakim untuk diputuskan dalam bentuk akta perdamaian dengan merujuk kepada
Kompilasi Hukum Islam.Apabila perkara itu gagal pada saat mediasi maka mediator
juga membuat suatu pernyataan bahwa mediasi tidak mencapai kesepakatan dengan
tidak melampirkan pembicaan di dalam ruang mediasi Sedangkan penyelesaian
pidana melalui mediasi tidak ada dikarenakan Mahkamah Syar’iyah tidak menerima
kasus pidana.[T5]
Kata
kunci: Hambatan, Mediator[T6] , Mediasi, Waris, Hukum
Islam
Pendahuluan
Mediasi
merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa baik dalam pengadilan maupun
diluar pengadilan yang dibantu oleh seorang mediator untuk menangani suatu
perkara perdata, baik itu perkara perceraian, warisan atau hibah. Mediasi bisa
juga disebut suatu pedoman untuk berdialog antara satu pihak dengan pihak yang
lain dengan bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perkara. Penetapan
mediasi sebagai bingkai teori dalam menjalankan suatu penyelesaian yang
bersifat win-win solution (sama-sama menang), bukan berarti mediasi hanya suatu
program pengadilan untuk dijalankan secara umumnya, akan tetapi mediasi jauh
lebih penting dalam memahami kondisi orang-orang yang berperkara dengan
melibatkan pihak-pihak yang bersengketa untuk menempuh titik temu antara
keduanya.
Tidak
hanya itu, mediasi juga menjadi perhatian khusus dari beberapa pakar ilmiah
yang mencoba mengkaji lebih dalam terhadap indahnya menyelesaikan suatu perkara
dengan cara musyawarah yang belakangan melahirkan beberapa Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mengartikan mediasi dalam beberapa pengertian yaitu
dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penengah seperti dalam proses
penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan, penengah, munculnya ide-ide dari
rangsangan secara tidak langsung melalui ide-ide lanjutan yang saling
berhubungan, yang mungkin muncul dalam kesadaran yang jelas.[1]
Lebih
lanjut di era kontemporer saat ini mediasi sudah diterapkan dalam lembaga
pengadilan yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi
dalam pengadilan yang telah diamandemenkan menjadi PERMA No. 1 Tahun 2016.
Namun demikian mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi kepada dua yaitu: Mediasi
yang dilakukan di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, dan mediasi yang dilakukan dalam pengadilan diatur dalam Pasal 130 HIR/
154 RBg jo PERMA No. 1 Tahun 2008.[2]
Penetapan mediasi dalam pelaksanaan perkara warisan sangatlah penting selain
menjaga tali silaturrahmi antara keduanya juga menjaga nama baik dari keduanya[3].
Dalam
bahasa lain mediasi disebutkan secara etimologi berasal dari bahasa latin, mediare
yang berarti berada di tengah., makna ini menunjukkan pada peran yang
ditampilkan pihak ke tiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi
dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Dalam Collins English
Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan
menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan
(agreement).[4]
Jadi mediasi dapat diartikan
sebagai prosedur penyelesaian sengketa tingkat awal dengan melibatkan seorang
mediator untuk memediasikan kedua belah pihak dengan tujuan mendapatkan
perdamaian antara keduanya.
Di samping itu mediasi yang
tersebut di atas bertujuan untuk mendamaikam pihak-pihak dalam perkara
kewarisan.Warisan berasal dari bahasa Arab yaitu وارث artinya waris[5].
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang berhak menerima
harta pusaka dari orang yang telah meninggal[6].
Sedangkan menurut istilah yaitu: berpindahnya hak kepemilikan seseorang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggal itu berupa
harta (uang), atau tanah atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i[7].
Menurut Sayyid Sabiq mendefinisikan faraidh adalah bentuk jamak dari faridhah
yang diambil dari kata fardh yang artinya takdir (ketentuan), dalam
istilah syarak fardh adalah bagian yang ditentukan bagi ahli waris, dan
ilmu mengenai hal itu dimana ilmu waris dalam ilmu faraidh[8].
Kemudian Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan ilmu waris adalah kaidah-kaidah fiqih
dan perhitungan-perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian masing-masing
setiap ahli waris dari harta peninggalan.[9]
Dalam kehidupan bermasyarakat
seringkali terjadi persengketaan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dengan
berbagai alasan. Pada umumnya sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi.
Mediasi dapat diterapkan diluar pengadilan maupun di dalam lembaga pengadilan
seperti sengketa kewarisan bagi orang Islam. Sengketa kewarisan termasuk salah
satu kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah atau pengadilan agama dengan objek
sengketa berupa harta benda.
Oleh
karena itu berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji
permasalahan mediasi sengketa waris ini lebih dalam melalui judul skripsi: “Hambatan
Mediator Dalam Memediasi Perkara Waris (Studi Kasus Mahakmah Syar’iyyah Banda
Aceh Kelas I-A)”. Dengan pertanyaan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsep
dan pelaksanaan mediasi pada perkara waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh
Kelas I-A?
2.
Bagaimana
tantangan proses dan penyelesaian pidana melalui mediasi dalam menyelesaikan
perkara waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh Kelas I-A?
Adapun
jenis penelitian dalam penelitian ini yaitu field research, tepatnya
dengan pendekatan studi kasus (cose study).Studi kasus
dimaksudkan untuk mendata kasus-kasus secara empiris, serta melihat-lihat
prosedur mediasi di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh. Penelitian ini juga
menggunakan library research
atau penelitian kepustakaan, khususnya dalam kaitan pencarian data normatif.
Adapun sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sumber data primer yang diperoleh melalui wawancara
peneliti dengan hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh kelas IA. Sedangkan
sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
membaca dan mengkaji buku-buku.
PEMBAHASAN
Pengertian
Mediasi dan Dasar Hukum Mediasi
Secara
etimologi mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada
ditengah. Makna ini menunjukkan kepada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menangani dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak[10].
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris,
yaitu mediation. Menurut Taktir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara
mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus[11].
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang
memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam
situasi konflik untuk mengoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif
dalam proses tawar-menawar, bila tidak ada negosiasi maka tidak ada mediasi.[12]
Adapun
dasar hukum mediasi dapat dilihat dari tiga sisi yaitu: Al-Qur’an, Hadis, dan
Landasan Yuridis Normatif.
1.
Al-Qur’an
Q.S. Al-Hujurat [26] :9-10
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ
إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ
إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ
وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩ إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ
فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Artinya : “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (9)
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.
(Q.S. Al-Hujurat [26] : 9-10).
2.
Hadits
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلاَّل,
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِىُّ,
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِ و بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ,
عَنْ أَبِيهِ,
عَنْ جَدِّهِ,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ,
إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاَ,
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا,
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَي شُرُوطِهِمْ,
إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً,
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
Artinya : Hasan bin Ali Al-Khallal
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al-Aqadi menceritakan kepada kami, Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Auf Al-Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersada, “Perdamaian antara kaum muslimin
adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat-syarat yang mereka
tetapkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan hal
yang haram”.( Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi ).[13]
3.
Landasan Yuridis
Normatif
Dasar
hukum yang melandasi penerapan mediasi di pengadilan adalah:
a.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa.[14]
b.
PERMA RI Nomor 2
Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan telah diamandemenkan ke dalam
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang telah
diamandemenkan menjadi PERMA RI Nomor 1
Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
c.
Pasal 130 HIR (Het
Herzieni Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44), atau pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad, 1927:227), atau pasal 31 Rv (Reglement
op deRechtsvordering,Staatsblad 1874:52).
SEMA RI No. 1 Tahun 2002 tentang
pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/ Pasal 154 RBg[15]
Macam-Macam dan
Sebab-Sebab Mediasi
Secara
umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dibagi kedalam 2 jenis mediasi, yaitu:
1. Mediasi
pada lembaga pengadilan
Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 yang telah diamandemenkan menjadi PERMA RI
No. 1 Tahun 2008 yaitu menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara
pada pengadilan. Mediasi di dalam pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana
yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Hal ini ditegaskan dalam
pasal 02 PERMA No. 1 Tahun 2008, yaitu semua perkara perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui
perdamaian dengan bantuan mediator.[16]
2. Mediasi
di luar lembaga pengadilan
Pada
dasarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 memuat ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan
mediasi di dalam pengadilan, tetapi ketentuan ini juga memuat ketentuan yang
menghubungkan antara praktik mediasi diluar pengadilan yang menghasilkan
kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 mengatur
sebuah prosedur hukum untuk memperoleh akta perdamaian dari pengadilan tingkat
pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah
dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen
kesepakatan perdamaian dan kesepakatan perdamaian itu merupakan hasil perundingan
para pihak dengan mediasi yang dibantu oleh mediator yang bersertifikat.[17]
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan diawali oleh adanya ketidak puasan akan proses
penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, putusan yang dihasilkan oleh
pengadilan sering menimbulkan rasatidak puas para pihak atau ada pihak yang
merasa sebagai pihak yang "kalah."[18]
Mediasi
di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta perorangan, maupun sebuah
lembaga independen alternative penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat
Mediasi Nasional (PMN).
Tatacara mediasi
tercantum dalam pasal 1 angka (8) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengangadilan yang menggariskan bahwa para pihak adalah dua atau
lebih subyek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa
mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian. Selanjutnya pasal 7 ayat
(3) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menentukan hakim,
melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Sedangkan pasal 7 ayat (4)
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menentukan kuasa
hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi. begitu pula dalam pasal 15 ayat (2) PERMA No.
1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengangadilan menerangkan mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
Dan di dalam pasal 12 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan menentukan para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan itikad
baik.[19]
Adapun
sebab-sebab terjadi mediasi dapat dikatakan bahwa mediasi dipengadilan ini
merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 130 HIR/154RBg, yang mengharuskan
hakim menyidangkan suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian
para pihak yang berperkara.[20]
Kenyataan yang
dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan dalam
penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya hampir seratus persen putusan
bercorak menang atau kalah (winning or losing). Jarang ditemukan
sama-sama menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan,
kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul.
Maka dibuatlah lembaga mediasi yang diatur pada tanggal 30 Januari 2002
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun
2002 tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai
(Eks Pasal 130 HIR/ 154 RBg). SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut didasarkan hasil
Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung, yang diselenggarakan di Yogyakarta pada
tanggal 24 sampai dengan 27 Desember 2002[21].
Dengan
adanya mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:
a.
Mediasi
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif mudah.
b.
Mediasi akan
menfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada
kebutuhan emosi atau psikologis mereka.
c.
Memberikan
kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal.
d.
Mediasi
memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap proses dan
hasilnya.
e.
Mediasi dapat
mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit di prediksi.
f.
Mediasi akan
menciptakan saling pengertian ang lebih baik diantara para pihak yang
bersengketa.
g.
Mediasi mampu
menghilangkan konflik atau permusuhan.[22]
Dari
uraian di atas bahwa kesepakatan damai berisi perjanjian antara para pihak,
maka keabsahan berjanjian ketika disepakati sering tidak disadari oleh salah
satu pihak kalau ternyata perjanjian tersebut mengandung unsur-unsur penipuan dan merugikan bagi dirinya.
Persyaratan dan
Tipologi Mediator
Persyaratan
bagi Mediator adalah seorang yang ditunjuk oleh pengadilan atau orang yang
terpercaya oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa para pihak, mediator
juga disebut pihak ketiga untuk menjembatani para pihak dalam menyelesaikan
perkara dengan saran-saran yang diberikan oleh mediator untuk mencapai
kesepakatan dan beritikad baik.Di samping itu mediator tidak bisa memutuskan
suatu pekara karena putusan akhir tetap berada pada tangan para pihak.
Mengingat
peran mediator menetukan efektifitas dalam proses penyelesaian sengketa, maka
dari itu mediator harus memenuhi persyaratan baik dilihat dari sisi internal
mediator ataupun eksternal mediator. Sisi internal berkaitan dengan
kemampuan personal dalam menjalankan misinya dan mengetus proses mediasi,
sehingga para pihak berhasil dalam kesepakatan[23].
Dalam sisi eksternal berkaitan dengan kemampuan membangun kepercayaan para
pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan
reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan walaupun dia sendiri tidak setuju
dengan pernyataan tersebut.
Disamping
persyaratan yang telah tertera diatas ternyata ada persyaratan lain yang
berkaitan untuk menyelesaikan permasalahan yang dipersengketakan yaitu:
1.
Keberadaan
mediator disetujui oleh para pihak
2.
Tidak mempunyai
hubungan keluarga sedarah atau kerabat antara kedua pihak.
3.
Tidak memiliki
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa disebabkan tidak
objektifnya proses mediasi.
4.
Tidak mempunyai
kepentingan finansial, atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak
dan ia tidak memiliki kepentingan material apa pun terhadap mediasi, baik itu
berhasil ataupun gagal
5.
Tidak memiliki
kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya[24].
Di
samping itu tipologi bagi seorang mediator adalah skill dalam menjalankan
mediasi. Sikap mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu melakukan suatu
tindakan semata-mata membantu dan mempercepat proses penyelesaian sengketa.
Adapun
tipologi mediator menurut sudut pandang Christopher W Moore mediator
memiliki 3 tipe yaitu:
1.
Mediator Otoritatif
Proses mediasi terhadap beberapa komponen
yang terlibat langsung yaitu: para pihak yang bersengketa (penggugat dan
tergugat) dan mediator, ketiga komponen tersebut akan terlihat dalam satu
prosesinteraksi secara timbal balik berdasarkan kepentingan dan
pengaruh-pengaruh tertent. Mediator otoritatif dapat dibedakan menjadi tiga
golongan yaitu: mediator benevolent, mediator administrative manajerial,
mediator vested interest.[25]
2.
Mediator Social
Network
Mediator
yang lahir karena proses hubungan social atau karena sama-sama berasal dari
suatu komunitas tertentu, pada umumnya memilikiketerlibatan emosional dengan
para pihak. Hubungan sosial terjalin dari berbagai aspek misalnya karena faktor
kelompok dan organisasi tertentu. Tipe mediator berdasarkan hubungan sosial
memiliki kelebihan antara lain lebih mudah untuk menciptakan polakomunikasi
yang baik dengan para pihak, karena antara mediator dengan para pihak memiliki
karakter dan ciri khas yang sama.[26]
3.
Mediator
Independent
Mediator
independent merupakan mediator yang sama sekali tidak memiliki keterikatan
apapun dengan para pihak, baik karena pribadinya maupun sengketa yang sedang
dihadapi. Tipe ini adalah tipe yang paling cocok bagi proses perdamaian yang
dilakukan dalam prosesperkara di pengadilan mengingat sifatnya yang independent
dan professional. Mediator independent akan lebih memberikan kenyamanan para
pihakdalam mengekpresikan kepentingan-kepentingan kritis pada saat
melakukan proses negosiasi dan perundingan.[27]
Kewenangan dan Tugas
Mediator
Kewenangan
dan tugas mediator dalam menjalankan tugas sebagai seorang mediator,
tentunya mediator juga mempunyai
sejumlah kewenangan dan tugas-tugas dalam proses mediasi. Mediator memperoleh
tugas dan kewenangan tersebut dari para pihak dimana mereka mengizinkan dan
setuju adanya para pihak ketiga dalam meyelesaikan sengketa mereka.Kewenangan
dan tugas mediator terfokus pada upaya menjaga mempertahankan dan memastikan
bahwa mediasi sudah berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan mediator terdiri
atas:
1. Mengontrol
proses dan menegaskan aturan dasar.
2. Mempertahankan
struktur dan momentum dalam negosiasi..
3. Mengakhiri
proses bilamana mediasi tidak produktif lagi..[28]
Adapun
mengenai tugas mediator disebutkan dalam pasal 14 PERMA No. 1 tahun 2016
menjelaskan seorang mediator dalam menjalankan fungsinya, ia juga memiliki
tugas yaitu: memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk
saling memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi
kepada para pihak, menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan
tidak mengambil keputusan. Membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para
pihak lalu menyusun jadwal mediasi bersama para pihak selanjutnya mengisi
formulir jadwal mediasi serta memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian. Menginventarisasi permasalahan
dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala proritas serta memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk
menelusuri dan menggali kepentingan para pihak, mencari berbagai pilihan
penyelesaian yang terbaik bagi para pihak dan bekerja sama mencapai
penyelesaian.[29]Kemudian
membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan perdamaian, menyampaikan
laporan keberhasilan dan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya
mediasi kepada hakim pemeriksa perkara.Menyatakan salah satu pihak tidak
beriktikad baik dan menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara.[30]
Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi dalam Pengadilan
Mediasi
sebagai upaya menciptakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Pada tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) telah mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan
pengadilan tingkat pertama dalam rangka pelaksanaan perdamaian antara kedua
belah pihak yang sedang berperkara. Akan tetapi (SEMA) No. 1 Tahun 2002 masih
kurang efektif, sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003, adalah merupakan
bentuk penyempurnaan (SEMA) No.1 Tahun 2002. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.1 Tahun 2002 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 namun hal
tersebut di anggap belum cukup efektif, sehingga untuk lebih mengoptimalkan
lembaga mediasi.[31]Lalu
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan berlaku secara efektif pada tanggal 13 Juli 2008.
Adanya
PERMA No.1 Tahun 2008 secara fundamental telah merubah praktek peradilan yang
berkenaan dengan perkara-perkara perdata.Sebelum adanya peraturan Mahkamah
Agung tersebut, upaya mendamaikan para pihak dilakukan secara formalitas oleh
hakim yang memeriksa perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya
untuk memberi kesempatan kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara.Diberikan waktu dan ruang khusus untuk melakukan mediasi bagi para pihak.Upaya
damai ini bukan hanya sebagai formalitas, tetapi harus dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Adapun
PERMA sebagai upaya penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi secara
konseptual atau esensialnya sama dengan upaya perdamaian sebagaimana diwajibkan
oleh Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg. Oleh sebab itu, jika para pihak maupun
hakim pemeriksa tidak mematuhi peraturan tersebut. Maka hal itu dimaknai
sebagai bentuk pelanggaran terhadap kedua pasal dimaksud yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum.Penggunaan mediasi secara wajib tidak diartikan bahwa
para pihak diwajibkan mencapai atau menghasilkan perdamaian.Perdamaian tidak
dapat dipaksakan atau diwajibkan, tetapi harus merupakan hasil kesadaran dan
keinginan bersama.[32]
Di
dalam pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang diupayakan mediasi
yaitu semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama dengan
dibantu oleh mediaor, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur
pengadilan niaga, pengadilan industrian, keberatan atas putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen, dan keberatan putusan komisi pengawas
persaingan usaha.
Pada
dasarnya mediasi di pengadilan dilakukan oleh mediator yang telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga Mahkamah
Agung RI dengan memiliki sertifikat mediator. Namun, mengingat jumlah mediator
yang sangat terbatas di pengadilan tingkat pertama, maka dalam PERMA ini
mengizinkan hakim menjadi mediator.Dalam menjalankan mediasi para pihak bebas
memilih mediator yang disediakan di pengadilan atau membawa mediator sendri
dari luar. Mediasi itu bermula disaat penggugat mengajukan perkara dengan
dihadiri oleh kedua belah pihak lalu setelah dibuka persidangan tentunya hakim
menyuruh kepada para pihak untuk menempuh jalan mediasi terlebih dahulu, dan
hakim juga mewajibkan kedua belah pihak untuk berperan langsung dalam proses
mediasi.
Proses
mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak
atau mediator yang ditunjuk oleh hakim. Atas kesepakatan para pihak, mediasi
dapat diperpanjang selama 14 hari.[33]
Mediator berkewajiban menyatakan proses mediasi gagal atau mencapai
kesepakatan. Sebelum masa proses mediasi, seorang mediator berkewajiban
menyiapkan tempat untuk mediasi serta mediator mendorong para pihak agar
berperan langsung pada saat proses mediasi.
Bila para pihak tidak
mencapai kesepakatan selama 40 hari maka mediator wajib menyampaikan secara
tertulis bahwa proses mediasi gagal, dan memberi tahu kegagalan mediasi kepada
hakim. Maka dari itu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku. PERMA No. 1 tahun 2008 memberi peluang
perdamaian terhadap kedua belah pihak sebagaimana disebutkan dalam pasal 21
bahwa para pihak atas kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian
terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali
sebelum diputus. Para pihak yang menempuh perdamain wajib disampaikan secara
tertulis kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili. Majelis hakim
memeriksa perkara selama 14 hari kerja,
sejak pemberitahuan tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.[34]Akte
perdamain ditanda tangani oleh mejelis hakim tingkat banding, kasasi, atau
peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak dicatat
dalam buku register induk perkara.
HASIL PENELITIAN
Konsep dan Pelaksanaan Mediasi Pada
Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas IA
Mediasi pada dasarnya suatu proses yang dilakukan dengan cara mufakat
atau perundingan yang dibantu oleh mediator yang bersifat netral antara
keduanya untuk membantu menyelesaikan perkara waris sehingga mencapai
kesepakatan perdamaian.
Berbicara mediasi tentu bertujuan mendapatkan solusi yang akan diperoleh
dan diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa dengan cara mufakat atau
musyawarah dengan dihadiri oleh para pihak dan dibantu oleh seorang mediator
yang netral. Adapun mediasi menurut hakim mediator di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh Kelas 1A sebagai berikut:
ABD. Rauf, Yusri dan Rokhmadi mereka menyebutkan
bahwa:
Mediasi adalah upaya perdamaian yang dilakukan
terhadap kedua belah pihak agar mendapatkan titik kesepakatan dengan bantuan
mediator yang sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi
dipengadilan .[35]”
Sedangkan dalam pelaksanaannya menurut hasil wawancara dengan beberapa
hakim mediator yang bertugas di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas IA yaitu:
Menurut ABD.
Rauf dan Yusri, mereka mengatakan bahwa:
Dalam hal pelaksanaan mediasi, mediator wajib
memerintahkan para pihak agar berperan langsung pada saat proses mediasi supaya
mudah untuk mendapatkan titik terang terhadap para pihak, dimana kedua belah
pihak menunjuk seorang mediator yang telah disediakan pengadilan kemudian
saling memperkenalkan diri terhadap para pihak, selanjutnya mediator membuat
langkah kerja mediator dan membuat tata tertip pada saat mediasi. Kemudian
setelah peraturan itu dibuat dan para pihak menyetujuinya maka proses
pelaksanaan mediasi dijalankan. Sama dengan hakim yang pertama[36].
Menurut A. Karim dan Rokhmadi, mereka menyebutkan
bahwa:
Sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016 setiap
perkara gugatan itu wajib dimediasi dalam hal pelaksanaan, maka penggugat dan
tergugat wajib hadir di pengadilan agar mediasi dapat dilaksanakan, apabila
pihak lawan tidak hadir maka mediasi tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada
pihak yang akan dimusyawarahkan[37]”.
Tantangan Proses dan Penyelesaian Pidana
Melalui Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda
Aceh Kelas 1A
Pembahasan sebelumnya dikemukakan proses dan pelaksanaan mediasi di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Sub bahasan ini akan menguraikan tantangan
proses dan penyelesaian pidana melalui mediasi dalam menyelesaikan perkara
waris di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh Kelas 1A, yaitu berupa tanggapan, pendapat hukum, serta penjelasan-penjelasan
terkait mediasi yang dijalankan. Secara subtansi, mediasi di Mahkamah syar’iyah
sudah dijankan dengan semaksimal mungkin dan sungguh-sungguh, namun hasil yang
dicapai masih sangat relative rendah tentunya karena banyak tantangan proses
yang menghambat seorang mediator dalam menyelesaikan sengketa warisan. Adapun
uraian tantangan yang menghambat proses mediasi antara lain:
1.
Salah satu pihak tidak hadir pada saat proses mediasi
Kehadiran kedua pihak saat proses mediasi sangatlah penting, apabila
salah satu satu pihak ada yang tidak hadir, maka proses mediasi tidak dapat dilaksanakan.
2.
Mengedepankan Sikap Ego Masing-Masing
Apabila ada pihak yang tidak ingin mengalah maka sulit bagi mediator
dalam mendamaikan pihak tersebut karena mereka menganggap upaya damai sudah
maksimal dijalankan dikampung kemudian para pihak lebih mengedepankan
keegoannya bukan ke Agamaanya.[38]Maka dari itu para pihak yang berperkara saling
mempertahankan argument mereka masing-masing.
3.
Penguasaan Harta
Perkara itu tidak bisa diselesaikan dikarenakan objek warisan tersebut
telah dikuasai yang bukan ahli waris hak atau dikuasai oleh pewaris yang hak
tapi tidak beritikat baik dengan menghalangi ahli waris lain untuk mendapatkan
bagian.
4.
Pembagian Warisan
Disaat pewaris meninggal dunia lalu harta warisan dibagikan secara
kekeluargaan ada ahli waris masih muda kedudukannya daripada ahli waris yang
lain jadi bahagian yang diperoleh juga sedikit maka dari itu dia tidak menerima
akan pembahagian yang telah dibagikan tersebut lalu menggugat ke pengadilan.
5.
Masalah Hati
Merasa sakit hati dengan perlakuan yang dilakukan oleh salah satu pihak
dan merasa hak-haknya dilanggar oleh salah satu pihak.
6.
Keahlian Mediator
Masih rendahnya kualitas hakim yang menjalankan fungsi mediator dan masih
banyak hakim terutama di Pengadilan yang berada dipelosok daerah tanah air,
yang belum mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan sertifikasi mediator oleh
lembaga terakreditasi oleh Mahkamah Agung.Mahkamah Agung belum bisa mengadakan
pelatihan mediasi yang cukup untuk semua hakim dikarenakan mediasi belum
menjadi program prioritas yang memperlihatkan kurangnya dukungan Mahkamah Agung
RI.[39]
7.
Keterbatasan ilmu mediator
Kekurangan ilmu yang dimiliki oleh seorang mediator sebagai penengah
diantara dua belah pihak sehingga membuat mediator kurang mampu dalam
memecahkan permasalahan tersebut
8.
Keterbatasan mediator
Mengingat hakim mediator yang sedikit sehingga hakim yang tidak memiliki
sertifikat mediator juga diberi kewenangan untuk menjadi mediator sehingga
kurang mengetahui bagaimana langkah kerja mediator dalam mendamaikan suatu
perkara.
9.
Budaya atau adat
Kesulitan bagi seorang mediator dalam mendamaikan para pihak, dikarenakan
mediator dan para pihak bukan berasal dari daerah yang sama. Mereka mempunyai
budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda, sehingga mediator kurang memahami dengan benar situasi
suatu daerah tersebut.
Untuk mengetahui secara jelas peran mediator dalam meneyelesaikan perkara
waris di Mahkamah Syariyah Banda Aceh Kelas IA dapat dilihat dari hasil
wawancara.Hasil wawancara berupa jawaban informasi dari pertanyaan tentang
peran seorang mediator dalam menyelesaikan perkara waris di Mahkmah Syar’iyah
Banda Aceh.
Adapun penyelesaian sengketa waris di Mahkamah Syar’iyah Bada Aceh Kelas
IA yaitu:
Menurut A.
Karim, Rokhmadi dan ABD. Rauf, mereka mengatakan bahwa:
Proses mediasi bukan hanya sekedar prosedur di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A akan tetapi upaya damai sangat di
anjurkan sehingga dibuatnya mediasi supaya mendapatkan kesepakatan, apabila
proses mediasi itu berhasil diselesaikan dengan cara damai maka mediator membuat
sebuah keterangan secara tertulis bahwa mediasi tersebut berhasil, dan apabila
proses mediasi itu gagal maka mediator membuat keterangan bahwa mediasi
tersebut telah gagal.[40]
Menurut Yusri
menyebutkan bahwa
Pada hakikatnya ada beberapa cara untuk menempuh
penyelesaian perdamaian bukan
berarti dengan selesainya mediasi maka selesai tidak, akan tetapi hakim wajib
mendamaikan para pihak sebelum pokok perkara dibacakan. Ada beberapa cara dalam
menempuh perdamaian yaitu; (a) Hakim mendamaikan diruang sidang (b) Mediasi (c)
setiap persidangan hakim wajib menyeru kepada para pihak untuk berdamai (d)
para pihak meminta kepada majelis hakim untuk dimediasi lagi, maka majelis
hakim menunjuk salah satu hakim anggota yang ada dimajelis tersebut untuk
memediasi kembali kedua belah pihak atau ketua majelis sendiri yang menangani
tetapi mediasi tersebut “keinginan para pihak” .[41]
Sedangkan di dalam hukum pidana proses penyelesaiannya
melalui diversi. dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya atau korban dan orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan
pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal musyawarah dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial,
dan masyarakat. Proses diversi wajib memperhatikan:
a.
kepentingan korban.
b.
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak.
c.
penghindaran stigma negatif
d.
penghindaran pembalasan.
e.
keharmonisan masyarakat.
f.
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Untuk penyelesaiannya apabila terjadi tindak pidana terhadap anak yang di
bawah umur maka anak tersebut wajib menempuh jalan diversi, diversi tersebut
dilakukan oleh penyidik atau aparatur Negara yang menangkap anak-anak yang
melakukan pidana tersebut, melakukan diversi dengan melibatkan anak serta orang
tua dan anak korban serta orang tua, diversi bertujuan untuk mencari solusi
dengan cara musyawarah terhadap kedua belah pihak agar anak tersebut tidak di
penjara akan tetapi mencari hukuman lain yang membuat anak tersebut memiliki
efek jera terhadap perbuatannya.
Setelah itu apabila kedua belah pihak telah setuju untuk berdamai
maka penyidik meminta pusan ke
pengadilan untuk dicantumkan ke dalam akta perdamaian. Diversi hanya bisa
dilakukan sekali, apabila anak tersebut mengulang kembali akan perbuatannya
maka anak tersebut tidak di benarkan mengikuti diversi kembali.
Hasil wawancara dengan beberapa hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Kelas 1A menyebutkan sebagai berikut:
Drs. Yusri dan
Drs. Rokhmadi mereka menyebutkan bahwa:
Dalam kasus pidana adanya ketentuan tertentu bagi
anak yang berumur dibawah 18 tahun apabila melakukan tindak pida, seperti
melakukan khalwat atau ikhtilaf, maka hukuman yang dijatuhkan kepada mereka
dapat dip roses dengan cara diversi[42].
Dari uaraian diatas dapat dipahami bahwa apabila seorang anak dibawah
umur berhadapan dengan hukum, maka anak tersebut wajib di upayakan diversi.
Pengertian diversi sama seperti mediasi akan tetapi yang menjadi perbedaan
keduanya adalah jika diversi itu berada diranah pidana untuk mediasi berada
diranah perdata. Adapun tujuannya ialah sama-sama untuk mencari solusi
perdamaian dari kedua belah pihak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang hakim mediator, bahwa
seorang mediator itu hanya sebagai penengah diantara kedua belah pihak yang
bersengketa. Dan mediator di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A telah
menjalankan tugasnya dengan baik dan sungguh-sungguh, sebagaimana tercantum
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur pelaksanaan mediasi di
pengadilan dan dalam penyelesaian perkara waris melihat Kompilasi Hukum Islam.
Hasil penelitian yang peneliti lakukan bahwa penyelesaian pidana melalui
mediasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas IA itu tidak ada, dikarenakan
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas IA tidak menangani permasalahan pidana dan
di dalam Qanun juga tidak di terangkan permasalahan pidana yang di selesaikan
melalui mediasi.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya dan mengacu pada rumusan
masalah, maka temuan penelitian ini dapat disimpulkan dalam dua poin, yaitu
sebagai berikut:
1. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
konsep dan pelaksanaan medias yang diterapkan di Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh
Kelas 1A adalah untuk mecari solusi perdamaian terhadap kedua belah pihak yang
sedang bertikai dengan dibantu oleh seorang mediator dalam menyelesaikan
perkara tersebut. Sedangkan pelaksanaan perkara waris sudah dijalankan seperti
yang telah diterapkan dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi
dalam pengadilan.
2.
Tantangan proses dan
penyelesaiannya yang membuat perkara tersebut berhasil atau tidak, yaitu para
pihak yang menentukan setelah diberi masukan atau ide-ide oleh mediator. Akan tetapi yang menjadi
ketidaksepakatan atau halangan dalam menempuh mediasi yaitu salah satu pihak
tidak hadir pada saat proses mediasi, mengedepankan egonya masing-masing,
keahlian mediator dan keterbatasan mesiator. Dalam penyelesaiannya apabila pada
saat proses mediasi itu berhasil maka mediator membuat keterangan secara tertulis
bahwa mediasi tersebut berhasil dengan ditanda tangani oleh kedua belah pihak
dan juga mediator, kemudian putusan tersebut diserahkan kepada hakim yang
memeriksa perkara untuk dituangkan dalam akta perdamaaian. Apabila proses
mediasi itu gagal, maka mediator membuat keterangan bahwa mediasi tersebut
telah gagal dengan tidak melampirkan pembicaraan atau solusi perdamaian yang
telah dilakukan pada saat mediasi.
Saran
Adapun saran yang dapat disajikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Hendaknya, para pihak (principal) diwajibkan untuk
menghadiri sendiri proses mediasi atau setidaknya ia dapat didampingi oleh
kuasa hukumnya dalam melakukan mediasi.
2.
Hendaknya, pada
saat mediasi para pihak bersikap lemah lembut dalam mengambil tindakan dengan
tidak egois dan tidak mementingkan diri sendiri
Daftar Pustaka
A. Al-Qur’an
B. Buku
Ahmad
Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif. 1997
Amir
Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Kencana. 2004
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd.Syakur.Ilmu Waris
Al-Faraidl Deskripsi Hukum islam, Praktis dan Terapan. Surabaya: Pustaka
Hikamah Perdana. 2005
Cik
Hasan Bisri. Peradilan Agama di Grafindo Indonesia. Jakarta: Raja
Persada. 2003
Effendi
Perangin.Hukum Waris. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Gamal
Achyar.“Nilai Adil dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam.” Banda Aceh: AWSAT, 2018.
Mahkamah
Syar’iyyah Banda Aceh, Buku Register Mediasi Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh, 2019
Muchlis
Marwan Dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum
Islam II, Surakarta: Buana Cipta, 2006
Muhammad
Ali as-Shabuni.Al-Mawaris Fi As-Syariati Al-Islamiyati Fi Daui Al-Kitab Wa As-Sunnati. Beirut – Lebanon:
Al-Maktabah Al-Ashriyah. 1429 H – 2008 M
Nurnaningsing Amriani. Mediasi Alternatif
Prnyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta: Rajawali Pers. 2012
Sayyid
Sabiq, fiqhu as-sunnah. Kairo Mesi: Dar Al-Fathi Lil I’lami
Al-Arabiy,1420 H/ 1999 M
Soerjono Sukanto. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. 1986
Syahrizal Abbas. Mediasi dalam Hukum Syariah,
Hukum Adat dan Hukum Nasional.Jakarta: Kencana. 2011
Syamsulbahri Salihima. Perkembangan Pemikiran
Pembagian Warisan dalam Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama.Jakarta:
Prenadamedia Group. 2015
Takdir Rahmadi. Mediasi Penyelesaian Sengketa
Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: Rajawali Pers. 2011
Wahbah
Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Surya-Damsyik:Dar Al-Fikri,
1409 H-1989 M.
C. Kamus
Ahmad
Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
1997
Daniel Haryono
dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 6, ( Jakarta: Media Pustaka
Phoenix, 2012 ), hlm. 571
D. Skripsi
Nurul
Fitri, Efektifitas Mediasi dalam perceraian di Mahkamah Syar’iyyahBanda Aceh
dan Mahkamah Syar’iyyahAceh Besar, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam
Negeri Ar-Raniry , BandaAceh, Skripsi.2011
Rahmat
Fitrah, Efektifitas Penyelesaian Sengketa Warisan Melalui Majelis AdatAceh (Studi
Di Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar), Skripsi. 2016
[1]Daniel Haryonodkk, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. 6, ( Jakarta: Media Pustaka Phoenix, 2012 ), hlm.
571
[2]Ibid, hlm. 18
[3] Zaid bin Abdul Karim Zaid, Fikih
Sirah Nabawiyah, Cet. 5, (Darus Sunnah, 2016), hlm. 1
[4] Syahrizal Abbas, Mediasi
dalam Hukum.., hlm. 1-2
[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), hlm. 496.
[6]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm. 1556
[7] Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Mawaris
Fi As-Syariati Al-Islamiyati Fi Daui Al-Kitab
Wa As-Sunnati, (Beirut – Lebanon: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1429 H –
2008 M), hlm. 33-34.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah,
Jilid.III, Cet. XXI, (Kairo Mesir: Dar Al-Fathi Lil I’lami Al-Arabiy,1420 H/ 1999 M), hlm. 291
[9] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz.8, Cet. III, (Surya-Damsyik: Dar Al-Fikri,
1409 H-1989 M), hlm. 243
[10] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasiaonal, Cet.2, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 1
[11] Takdir Rahmadi, Mediasi
Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Cet.2, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm, 12.
[12] Nurnaningsih Armiani, Mediasi
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Cet.2,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
hlm. 28
[13]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih
Sunan At-Tirmizi, Cet. 1, Jilid. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm.
110
[14] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum
Arbitrase, Cet. 3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 35
[15] Wirhanuddin, Deskripsi
Tentang Mediasi Di Pengadilan Tinggi Agama Makasar, Jurnal Al-FIKR,
Vol. 20, No. 2, (2016), diakses melalui http://journal.uin-alauddin.ac.id/
index.php/alfikr/article/view/2321,
Tanggal 22 Desember 2019, hlm. 286
[16] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam…, hlm. 306
[17] Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Cet. 2, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 193
[18] Sri Mamudji, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Luar Pengadilan, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol.
34, No. 3, (2017), diakses melalui http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1440, Tanggal 21 Desember 2019, hlm. 194
[19] Sholahuddin Harapan, “Pelaksanaan
Mediasi Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008”, Jurnal Syiar Madani, Vol.
13, No. 2, (2011), Diakses Melalui https://media.neliti.
com/media/publications/25273-ID-pelaksanaan-mediasi-menurut-perma-nomor-1-tahun-200
8-berikut-permasalahannya.pdf, Tanggal 22 Desember 2019, hlm. 133
[20] Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan
Dalam Teori dan Praktik, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 27
[21]Ibid, hlm. 28
[22] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Hukum…, hlm. 26
[23] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Hukum…, hlm. 60
[25] Witanto, Hukum Acara Mediasi…,
hlm. 97
[26]Ibid, hlm. 98
[27]Ibid, hlm. 99
[28]Karmuji, Peran Dan Fungsi
Mediator Dalam Penyelesaian Perkara
Perdata, Jurnal Ummul Qura,
Vol. 7, No.1, (2016), hlm. 46
[29]Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
diakses melalui https://bawas.
mahkamahagung. go. Id /bawas doc/doc/perma_mediasi_pengadilan_web.pdf, Tanggal 19 Desember 2019, hlm.
12
[30]Ibid, hlm 13
[31]Abdul Rokhim, Mediasi Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan, JurnalMasalah
Masalah Hukum, Vol. 43 No. 3, (2014), Diakses Melalui Https://Media. Neliti.Com/
Media/Publications/4674-ID-Mediasi-Menurut-Peraturan-Mahkamah-Agung-Republik-Indo
nesia-Nomor-1-Tahun-2008-T.Pdf Tanggal 19 Desember 2019, Hlm. 323
[32] Israr Hirdayadi dan Hery
Diansyah, Efektivitas Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008, Jurnal
Samarah, Vol. 1 No. 1, (2017), Diakses Melalui http://jurnal.arraniry .ac.id /in
dex. php/samarah,
Tanggal 19 Desember 2019, hlm. 216
[33] Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Hukum…, hlm. 131
[34]Ibid, hlm. 315
[35]Hasil Wawancara dengan ABD. Rauf,
Yusri, dan Rokhmadi, Hakim, Mahkamah Syar’iyah Banda AcehKelas 1A, tanggal 17 Januari 2020
[36]Hasil Wawancara dengan ABD. Rauf,
dan Yusri Hakim, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A, tanggal 17
Januari 2020
[37] Hasil Wawancara dengan A. Karim,
dan Rokhmadi, Hakim Mediator, Mahkamah Syar’iyah Banda AcehKelas 1A, tanggal 17 Januari 2020
[38]Hasil Wawancara dengan Yusri,
Hakim Mediator, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A, tanggal 27 Januari 2020.
[39] Fatahillah A. Syukur, Mediasi
Yudisial di Indonesia Peluang dan Tantangan Dalam Memajukan Sistem Peradilan,
Cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 70
[40] Hasil Wawancara dengan A. Karim, Rokhmadi dan ABD. Rauf, Hakim
Mediator, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A, tanggal 17 Januari 2020
[41] Hasil Wawancara dengan Bapak
Yusri, Hakim Mediator, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A tanggal 29
Januari 2020
[42] Hasil Wawancara dengan Yusri,
Rokhmadi, Hakim Mediator,
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Kelas 1A, tanggal 29 Januari 2020
[T1]Hambatan apa saja yang dihadapi mediator
dijelaskan dalam pembahasan; apakah mediator menjalankan tugasnya dengan baik,
tipologi mediator apa saja yang penliti temukan
[T3]Hindari kata penulis ingin mengetahui,
karena ini bukan masalah yang harus diteliti.
[T4]Fokus kepada permasalahan hambatan yang
dihadapi mediator
[T5]Jumlah kata di abstrak dikurangi
[T6]Tambah kata hambatan
Halaman 1
dulu ya direvisi
O ya
template jurnal don’t forget to send thanks
0 komentar:
Posting Komentar